Dalam wahy al-Qalam, al-Rafi’i menuturkan, “seandainya aku diminta untuk merangkum filosofi seluruh ajaran islam dalam dua kata, maka akan kukatakan: kekukuhan akhlak. Seandainya filosof terbesar dunia diminta untuk meringkas solusi bagi seluruh umat manusia dalam dua kata, pastilah ia berkata sama: kekukuhan akhlak. Andaikan seluruh ilmuwan eropa berkumpul untuk mempelajari peradaban eropa, lalu mengutarakan apa yang betul-betul sulit diraih, mereka akan berkata, ‘kekukuhan akhlak’. Marilah kita hiasi diri dan kehidupan kita dengan akhlak mulia.
Kita mempelajari akhlak karena ia merupakan tujuan diutusnya Nabi saw. Mungkin engkau terkejut. Jangan terkejut dan heran! Nabi saw bersabda,”Aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak” (H.R. Imam Malik, 1723). Apa ini logis? Benarkah Nabi saw diutus demi menata akhlak. Bacalah hadist tersebut sekali lagi, lalu renungkan.
Mengapa Nabi diutus? Untuk menjawabnya, Allah SWT berfirman,”kami tidak mengutusmu (wahai muhammad) kecualisebagai rahmat bagi alam semesta” (Q.S. al-Anbiya: 107). Renungkan, seandainya kecurangan, tipu daya, pengkhianatan, dan berbagai kejahatan merajalela dalam sebuah masyarakat, apakah masyarakat semacam ini akan diliputi rahmat? Bayangkan sebuah keluarga diliputi rasa benci, dengki, dan dendam. Dimanakah rahmat itu berada?
Jelas ada sebuah hubungan amat erat antara hadist,”Aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak” dan firman Allah,”Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta”. Ketahuilah, tidak ada rahmat bagi alam semesta kecuali dengan akhlak.
Disamping itu, bukankah ibadah lebih utama? Apakah akhlak lebih penting daripada shalat, puasa, do’a, dzikir, haji, dan seterusnya? Ya, akhlak memang lebih penting. Sebab, tujuan utama seluruh ibadah adalah membenahi akhlak. Kalu tidak, ibadah tersebut akan jadi semacam latihan olahraga saja! Kuharap kita bisa memahami secara benar. Jangan mencampuradukan urusan fikih dengan akidah, dan seterusnya. Pahamilah substansinya, jangan lahiriahnya.